Jumat, 14 Februari 2014

Journey of my life-I

Rabu, 24/07/13

Sebagai anak tunggal, Saya diberi kesempatan berharga untuk mendedikasikan waktu & tenaga untuk merawat Ayah tercinta (satu-satunya Keluarga yang tersisa di dunia ini). Bulan Juni 2013, Saya resmi resign dari kantor dan memiliki waktu lebih banyak yang dapat Saya habiskan dengan Papa, meskipun tidak mendapatkan penghasilan untuk sementara waktu namun Saya sangat bahagia sampai tiba pada diagnosa yang Saya ketahui di waktu dipertengahan Juli 2013...

Gejala yang terjadi sebelumnya ia mengeluh sakit maag, penurunan nafsu makan, BAB yang terus menerus dan adanya perubahan warna kulit sampai matanya menjadi kuning. Dan dihari Minggu sebelumnya hasil lab sudah ada ditangan Saya, rasanya SHOCK ketika melihat hasilnya.. Papa terkena Hepatitis B. Saat itu saya panik karena sebelumnya Papa ngga pernah sakit sampai akhirnya Papa harus masuk ke IGD.

Jangan membayangkan semua IGD merupakan tempat yang steril, banyak dokter dan perawat yang professional & sigap melayani pasien yang datang silih berganti. Kenyataan yang ada di RS ini TIDAK demikian.

Begitu banyak orang dengan keluhan yang beragam masuk ke ruang IGD, kebetulan sebelah ranjang Papa juga menderita Liver. Namanya Pak Selamet, saat itu Ia ditemani dengan istrinya, Ibu Yatmi dan kakak iparnya. Alhasil kami mulai berbagi cerita dan bertambahlah teman Saya =).

Rabu malam, ada seorang Bapak yang masuk ke ruang IGD dengan keluhan sesak napas. Saat itu Beliau ditemani dengan istri & 3 anaknya, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Wah, sedikit iri karena mereka begitu banyak jumlahnya, sehingga bisa saling support satu dengan yang lainnya.

Kamis, 25/07/13

Jam 2.30 pagi, Istri dari Bapak tersebut memanggil dokter untuk meminta pertolongan lebih lanjut, seketika hal ini mengagetkan Saya yang sedang terdiam berusaha untuk memejamkan mata sejenak.
Tiba-tiba terdengar suara mesin elektrokardiogram “niiiiittttt........” lalu dokter mengeluarkan defibrilator (alat pengejut jantung), 1..2..3.. dokter lainnya mulai membantu memompa dada Beliau.
Masih belum menunjukkan apa-apa, kembali terdengar suara defibrilator & kembali dipompa. Salah satu anak perempuannya dan sang istri terlihat sangat cemas & sambil berusaha memanggil, “Pak, bangun..pak.. Bapak harus ingetin aku. Bangun...pak”. Sambil terus memanggil, “Sayang..bangun sayang.. Pak, dengerin aku,pak... bangun sayang..” Sang istri terus memanggil suaminya.

03.05 pagi, sang istri terus membisikkan doa sambil menggenggam tangannya, anak-anaknya sudah berkumpul kembali, lalu tiba-tiba Beliau bernafas kembali.
Setelah kejadian ini Saya tidak dapat tidur, masih syok melihat kejadian langsung seperti ini. Saat itu Papa juga tidak bisa tidur, mungkin karena di IGD tidak nyaman sehingga Beliau tidak dapat istirahat. Tetapi Saya tetap “memaksanya” untuk beristirahat, agar badannya bisa lebih fit lagi.
Tapi Saya yang tidak bisa tidur, sambil melihat sekeliling..begitu banyak kejadian & pelajaran yang dapat Saya petik dari pengalaman ini.

Namun sekitar jam 6-7 pagi, Bapak itu kembali sesak nafas. Hal ini membuat salah satu anak perempuannya panik, dia menghubungi kakak perempuannya dan saudara laki-lakinya untuk segera berkumpul di IGD. Dokter kembali mengeluarkan alat defibrilator & berusaha menolong Bapak itu, namun setelah 5 menit berlangsung... belum ada tanda bahwa beliau dapat bernafas kembali.
Sang istri terus berada di sisinya, sedangkan kedua anak perempuannya sambil bergandengan tangan untuk saling menguatkan & berdoa bersama untuk keselamatan Ayahnya.

Namun setelah beberapa menit, dokter akhirnya menyatakan bahwa Beliau telah meninggal dunia. Rasanya runtuh sudah kekuatan anaknya, satu perempuan terduduk dilantai IGD, salah satunya lagi memeluk Ayahnya sambil menggoyangkan badannya agar Beliau bangun, “Pak, bangun...pak. Bangun.... Minggu depan aku nikah, pak. Bapak harus dampingi aku,pak......” Sang istri pun menangis & berusaha menenangkan anaknya. Saya melihat Ibu tersebut sangat TEGAR, disatu sisi Saya dapat melihat Ia begitu kehilangan suaminya, namun sepertinya Ia pun merelakan suaminya tenang disisi-Nya, meskipun air matanya jatuh..namun Ia dapat tetap menguatkan & menenangkan anak-anaknya.
Kembali sebuah pengalaman berharga  yang tidak akan terlupakan oleh Saya.

Jam 8 pagi ada pemeriksaan oleh dokter jaga. RALAT mungkin lebih tepatnya dokter jaga tersebut hanya melakukan “PR”-nya karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai diagnosa penyakit Papa saya. Sampai jam 9 pagi, belum ada dokter internis yang memeriksa Papa.
Saya mulai bertanya ke perawat, dokter jaga sampai ke bagian administrasi untuk mendapatkan bagaimana caranya menghubungi dokter internis. Saya sampai harus “mengemis” kepada mereka agar mereka mau SEGERA menghubungi sang “Bintang” (Dokter Internis) untuk datang ke IGD.

Jam 11.30 sang “bintang” baru datang dan pemeriksaan yang dilakukan ke Papa hanya menekan jarinya di daerah perut lalu dia bilang “kemungkinan ini kena pankreas dan harus dirawat inap.
THAT’S IT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Hampir seharian saya harus mengurus administrasi yang SUPER RIBET karena saya menggunakan program KJS. [Bagi yang belum tahu KJS (Kartu Jakarta Sehat), nanti akan saya bahas lebih lanjut mengenai RIBETnya administratif mengunakan KJS.]

Malam harinya Papa baru mendapatkan kamar untuk rawat inap; kamar kelas 3 yang berisi 7 orang, hanya ada kipas angin dan kamar mandi bersama yang letaknya jauh dari kamar.

Jumat, 26/07/13

Melihat Papa terbaring di ranjang RS, infus yang terpasang di kedua tangannya dan kondisi badannya yang semakin kurus.. Rasanya sangat menyedihkan. Tapi yang saya dapat lakukan hanya terus tegar dan berjuang untuk kesembuhan Papa.

Sekitar jam 9 pagi, biasanya ada pembagian resep obat yang harus ditebus. Saat itu Saya pergi menebus obat dengan Ibu Yatmi, yang kebetulan sang suami pun dirawat di kamar yang sama dengan Papa.
Ketika berjalan, Saya berkata kepada Bu Yatmi.. “Ibu hebat yah, sabar banget menghadapi ini semua. Apalagi masih punya anak kecil yang harus ditinggal demi merawat Bapak.” Saya berkata demikian untuk mengungkapkan kekaguman Saya atas kesabaran Bu Yatmi, karena mengurus suaminya sepanjang waktu.

Namun saat itu Ibu Yatmi berkata, “Nggalah... Saya mah ngga hebat,..yang hebat kamu, nes.. Kalau Saya jadi kamu, belum tentu Saya bisa kayak kamu. Bisa urusin Bapak kamu sendirian kayak gini.” Sambil menitikkan air mata, Saya berusaha tersenyum.

Kemudian Bu Yatmi berpesan, “Agnes harus sabar & kuat yah.. percaya kalau Bapak bisa sembuh. Bapak kamu pasti bangga punya anak kayak kamu, soleha, sabar sampe bisa ngerawat Bapak kayak gini.” Hiksss... terharu... (Oia,Saya kurang tahu arti soleha, yang Saya tahu artinya baik siy. =)
Hari ini kami saling menguatkan untuk terus merawat orang yang kami kasihi.

Kondisi beliau hari ini semakin membaik, karena Papa mulai nafsu makan. Karena makanan RS tidak ada yang enak..alhasil saya membelikan soto ayam untuk Papa. Wah, rasanya begitu bahagia melihat dia begitu nafsu makan dan bisa menghabiskan 1 mangkok soto tersebut.
Malam harinya pun, Ia masih bisa menghabiskan sop iga, meskipun dalam 1 hari ini frekuensi BAB-nya sangat sering (FYI: dalam 1 hari, Papa bisa bolak-balik ke toilet 10x lebih).

Tiba2 dimalam harinya detak jantung Papa sangat cepat, mungkin karena beliau kelelahan bolak balik toilet. Rasanya panik melihat beliau sesak nafas. Saat itu saya berbisik ke Papa, “Papa, janji ya sama aku. Papa ngga boleh nyerah, aku ngga mau kehilangan Papa. Aku masih butuh Papa” saat itu jawaban Papa hanya mengangguk sambil menepuk-nepuk tangan saya untuk menenangkan saya. Ternyata gula darahnya sangat rendah yaitu 69, dan hal tersebut yang menyebabkan beliau sesak nafas.

to be continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar